OBJEK LINGUISTIK: BAHASA
A. Pengertian Bahasa
Bahasa
pada kalimat peristilahan de Saussure seperti yang sudah dibicarakan
pada bab 2 adalah langue. Pada suatu langage (1), (2) dan (7) bahasa
secara harfiah. Bahasa sebagai objek linguistik adalah definisi bahasa
segi fungsinya itu, sapir (1221:8), Badudu (1989:3), Keraf (198:16),
Kridalaksana (1983, dan juga dalam Djoko Kentjono 1982): “bahasa adalah
definisi dari Barber (1964:21), Wardhaugh (1977:3), Trager (1949: 18),
de Saussure (1966:16), Boliner (1975:15).
B. Hakikat Bahasa
1. Bahasa sebagai sistem
Sistem
berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang
bermakna atau berfungsi. Sistem ini dibentuk oleh sejumlah unsur atau
komponen yang satu denan lainnya berhubungan secara fungsional. Dengan
sistematis, artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola; tidak
tersusun secara acak, secara sembarang. Sistemtis artinya baha itu bukan
merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari sub-subsistem; atau
sistem bawahan. sub-subsistem tersusun secara hierarkial. Artinya,
subsistem yang satu terletak di bawah subsistem yang lain; lalu
subsistem yang lain terletak pula di bawah subsistem lainnya lagi.
2. Bahasa sebagai lambang
Lambang
dikaji dalam kegiatan ilmiah dalam bidang kajian disebut ilmu semiotika
atau semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam
kehidupan manusia, termasuk bahasa. Semiotika atau semiologi oleh
Charles Sanders Peirce Eropa oleh Ferdinand de Saussure adanya beberapa
jenis tandam antara lain tanda (sign), lambang (simbol), sinyal
(signal), gejala (symptom), gerak isyarat (gestur), kode, indeks dan
ikon. Lambang itu sering disebut bersifat arbitrer. Arbitrer adalah
tidak adanya hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang dengan
yang dilambangkannya.
Sinyal
atau isyarat adalah tanda yang disengaja dibuat oleh pemberi sinyal
agar si penerima sinyal melakukan sesuatu. Sinyal bersifat imperatif.
Gerak isyarat atau gestur adalah tanda yang dilakukan dengan gerakan
anggota badan dan tidak bersifat imperatif seperti pada sinyal. Gejala
atau symptom adalah suatu tanda yang tidak disengaja, yang dihasilkan
tanpa maksud, tetapi alamiah untuk menunjukkan atau mengungkapkan bahwa
sesuatu akan terjadi. Ikon adalah tanda yang paling mudah dipahami
karena kemiripannya dengan sesuatu yang diwakili. Karena ikon disebut
gambar dari wujud yang diwakilinya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan
adanya sesuatu yang lain, seperti asap yang menunjukkan adanya api.
Ciri kode sebagai tanda adalah adanya sistem, baik yang berupa simbol,
sinyal, maupun gerak isyarat yang dapat mewakili pikiran, perasaan, ide,
benda dan tindakan yang disepakati untuk maksud tertentu. Bahasa adalah
suatu sistem lambang dalam wujud bunyi-bahasa bukan dalam wujud yang
lain.
3. Bahasa adalah bunyi
Kridalaksana
(1983:27) bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari
getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam
tekanan udara. Bunyi pada bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia. Bunyi bahasa atau bunyi ujaran (speech sound) adalah
satuan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalam
fonetik diamati sebagai “fon” dan di dalam fenemik sebagai “fonem”.
4. Bahasa itu bermakna
Makna
yang berkenan dengan morfem dan disebut makna leksikal; yang bekenan
dengan frase, klausa dan kalimat makna framatikal; yang berkenan dengan
wacana disebut makna pragmatik, atau makna konteks.
5. Bahasa itu arbiter
Istilah
arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa
(yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud
oleh lambang tersebut.
Ferdinand
de Saussure (1966:67) dalam dikotominya signifiant (Inggris: signifier)
dan signifie (Inggris: signified). Signifiant adalah lambang bunyi itu,
sedangkan signifie adalah konsep yang dikandung oleh signifiant.
Istilah penanda untuk lambang bunyi atau signifiant. Istilah petanda
untuk konsep yang dikandungnya, atau diwakili oleh penanda tersebut.
Hubungan antara signifiant atau penanda dengan signifie atau petanda
itulah yang disebut arbitrer, sewenang-wenang, atau tidak ada hubungan
wajib di antara keduanya.
6. Bahasa itu konvensional
Penggunaan
lambang suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua
anggota masyarakat bahasa itu memenuhi konvensi bahwa lambang tertentu
itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya.
7. Bahasa itu produktif
Produktif
adalah bentuk ajektif dari kata beda produksi. Produktif adalah “banyak
hasilnya” atau lebih tepat “terus-menerus menghasilkan”. Bahasa
produktif maksudnya, meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi
dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat
satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara
relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu.
Keterbatasan
pada tingkat parole adalah pada ketidaklaziman atau kebelumlaziman
bentuk-bentuk yang dihasilkan. Tingkat langue keproduktifan itu dibatasi
karena kaidah atau sistem yang belaku.
8. Bahasa itu unik
Unik
artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang
lain. Bahasa berisfat unik artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas
sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Salah satu keunikan
bahasa Indonesia adalah bahwa tekanan kata tidak berifat morfemis,
melainkan sintaksis.
9. Bahasa itu universal
Bersifat
universal artinya ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap
bahasa yang ada di dunia ini. Ciri universal dari bahasa yang paling
umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari
vokal dan konsonan. Bukti keuniversalan bahasa adalah bahwa setiap
bahasa mempunyai satuan-satuan bahasa yang bermakna, entah satuan yang
namanya kata, frase, klausa, kalimat dan wacana.
10. Bahasa itu dinamis
Karena
keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam
kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu tidak tetap dan
selalu berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak
tetap, menjadi tidak statis disebut dinamis.
11. Bahasa itu bervariasi
Yang
termasuk dalam satu masyarakat bahasa adalah mereka yang merasa
menggunakan bahasa yang sama. Variasi bahasa ini ada tiga istilah yang
perlu diketahui. Idiolek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat perorangan.
Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakt pada suatu tempat atau suatu waktu. Variasi bahasa berdasarkan
tempat ini lazim disebut dengan nama dialek regional, dialek areal atau
dialek geografi. Variasi bahasa yang digunakan pada madatertentu lazim
disebut dialek temporal. Variasi bahasa yang digunakan sekelompok
anggota masyarakat dengan status sosial tertentu disebut dialek sosial
atau sosiolek.
Ragam
atau bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan
atau untuk keperluan tertentu. Situasi formal diguankan ragam bahasa
yang disebut ragam baku atau ragam standar, situasi yang tidak formal
digunakan ragam yang tidak baku atau ragam nonstandar. Dari sarana yang
digunakan dapat ragam lisan dan ragam tulisan. Untuk keperluan
pemakaiannya dapat ragam ilmiah, ragam bahasa jurnalistik, ragam bahasa
sastra, ragam bahasa militer dan ragam bahasa hukum
12. Bahasa itu manusiawi
Membuat
alat komunikasi manusia itu, yaitu bahasa, prokduktif dan dinamis,
dalam arti dapat dipakai untuk menyatakan sesuatu yang baru, bebeda
dengan alat komunikasi hewan. Alat komunikasi manusia yang namanya
bahasa adalah bersifat manusiawi, dalam arti hanya milik manusia dan
hanya dapat digunakan oleh manusia.
C. Bahasa dan Faktor Luar Bahasa
Yang
dimaksud dengan faktor-faktor di luar bahasa tidak lain daripada segala
hal yang berkaitan dengan kegiatan manusia di dalam masyarakat, sebab
itu tidak ada kegiatan yang tanpa berhubungan dengan bahasa. Objek
kajian linguistik makro mulai dari kegiatan yang betul-betul merupakan
kegiatan berbahasa, seperti penerjemahan, penyusunan kamus, pendidikan
bahasa, sampai yang hanya berkaitan dengan bahasa seperti pengobatan dan
pembangunan.
1. Masyarakat bahasa
Masyarakat
bahasa adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang
sama. Akibatnya lain dari konsep “merasa menggunakan bahasa yang sama”,
maka patokan linguistik umum mengenai bahasa menjadi longgar.
2. Variasi dan status sosial bahasa
Ada
dua macam variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status
pemakaiannya. Yang pertama adalah variasi bahasa tinggi (biasa disingkat
variasi bahasa T), variasi bahasa rendah (biasanya disingkat R).
Variasi T digunakan dalam situasi-situasi resmi, seperti pidato
kenegaraan, bahasa pengantar dalam pendidikan, khotbah, surat-menyurat
rtsmi dan buku pelajaran. Variasi T dipelajari melalui pendidikan formal
di sekolah-sekolah. Variasi bahasa R digunakan dalam situasi yang tidak
formal. Variasi R dipelajari secara langsung di dalam masyarakat umu,
tidak pernah dalam pendidikan formal. Adnaya pembedaan variasi bahasa T
dan bahasa R disebut dengan istilah diglosia (Ferugson 1964). Masyarakat
yang mengadakan pembedaan ini sebut diglosis. Bahasa Yunani T disebut
katherevusa, variasu bahasa Yunani R disebut dhimotiki; variasi bahasa
Arab T disebut al-fusha, bahasa Arab R disebut ad-darij; jerman Swiss T
disebut Schiftsdrache bahasa Jerman Swiss R disebut chweizerdeutsch.
Bahasa Indonesia variasi bahasa T, barangkali sama dengan ragam bahasa
Indonesia baku dan variasi bahasa R sama dengan bahasa Indonesia
nonbaku.
3. Penggunaan bahasa
Hymes
(1974) seorang pakar sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu komunikasi
dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur, yang
diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni:
a. Setting and scence, yiatu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan.
b. Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan.
c. Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan.
d. Act sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan.
e. Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan.
f. Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan.
g. Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan.
h. Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.
Dalam
berkomunikasi lewat bahasa harus diperhatikan faktor-faktor siaa lawan
atau mitra bicara kita, tentang atau topiknya apa, situasinya bagaimana,
tujuannya apa, jalurnya apa (lisan atau tulisan), dan ragam bahasa yang
digunakan yang mana.
4. Kontak bahasa
Dalam
masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima
kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari
satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut kontak bahasa. Orang
yang hanya menguasai satu bahasa disebut monolingual, unilingual atau
monoglot yang menguasai dua disebut bilingual, sedangkan yang menguasai
lebih dari dua bahasa disebut multilingual, plurilingial atau poligot.
Boloomfiled
mengartikan bilingual ini sebagai penguasaan yang sama baiknya oleh
seseorang teradap dua bahasa. Uriel Weinrich (1968) mengartikan sebagai
pemakaian dua bahasa oleh seseorang secara bergantian. Einar Haugen
(1966) mengartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan
tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain, yang bukan bahasa
ibunya.
Dalam
masyarakat yang bilingual atau multilingual akibat adanya kontak bahasa
(dan juga kontak budaya), dapat terjadi peristiwa atau kasus yang
disebut interferensi, integrasi, alihkode (code-switching) dan
campurkode (code-mixing). Keempat peristiwa gejalanya sama, yaitu adanya
unsur bahasa lain dalam bahasa yang digunakan; namun konsep masalahnya
tidak sama. Interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke
dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan
kaidah dari bahasa yang sedang digunakan itu.
Dalam
integrasi unsur-unsur dari bahasa lain yang terbawa masuk itu, sudah
dianggap, diperlakukan dan dipakai sebagai bagian dari bahasa yang
menerimanya atau yang dimasukinya. alihkode, yaitu beralihnya penggunaan
suatu kode (entah bahasa ataupun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode
yang lain (bahasa atau ragam bahasa lain). Campur kode ini dua kode atau
lebih digunakan bersama tanpa alasan dan biasanya terjadi dalam situasi
santai.
5. Bahasa dan budaya
Edwad
sapir dan Benjamin Lee Whorf (dan oleh karena itu disebut hipotesis
Sapir-Whorf) yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan. Atau
dengan bahasa itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota
masyarakat penuturnya. Karena eratnya hubungan antara bahasa dengan
kebudayaan ini, ada pakar yang menyamakan hubungan keduanya itu sebagai
bayi kembar siam, dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
D. Klasifikasi Bahasa
Klasifikasi
dilakukan dengan melihat kesamaan ciri yang ada pada setiap bahasa.
Greenberg (1957:66) suatu klasifikasi yang baik harus memenuhi
persyaratan nonarbitrer, ekshaustik dan unik. Nonarbitrer adalah bahwa
kriteria klasifikasi itu tidak boleh semaunya, hanya harus ada satu
kriteria. Ekshaustik artinya setelah klasifikasi dilakukan tidak ada
lagi sisanya. Semua bahasa yang ada dapat masuk ke dalam satu kelompok.
Bersifat unik maksudnya kalau suatu bahasa sudah masuk ke dalam salah
satu kelompok, dia tidak bisa masuk lagi dalam kelompok yang lain.
Pendekatan untuk membuat klasifikasi tidak hanya satu yaitu: 1)
pendekatan genetis, (2) pendekatan tipologis, (3) pendekatan areal, dan
(4) pendekatan sosiolinguistik.
1. Klasifikasi genetis
Klasifikasi
genetis, disebut juga klasifikasi geneologis, artinya, suatu bahasa
berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih tua. Keadaan dari sebuah
bahasa menjadi sejumlah bahasa lain dengan cabang-cabang dan
ranting-rantingnya memberi gambaran seperti batang pohon yang berbalik.
Penemu teori ini, yaitu A. Schleicher, menamakannya batang pohon (bahasa
Jerman: Stammbaumtheorie). Dilengkapi oleh J. Schmidt dalam tahun 1872 dengan teori gelombang (bahasa Jerman: Wellentheorie).
Maksud teori gelombang ini adalah bahwa perkembangan atau perpecahan
bahasa itu dapat diumpamakan seperti gelombang yang disebabkan oleh
sebuah batu yang jatuh ke tanah kolam.
Klasifikasi
genetis dilakukan berdasarkan kriteria bunyi dan arti, yaitu atas
kesamaan bentuk (bunyi) dan makna yang dikandungnya. Yang dilakukan
dalam klasifikasi genetis sebenarnya sama dengan teknik yang dilakukan
dalam linguistik historis komparatif, yaitu adanya korespondensi bentuk
(bunyi) dan makna. Hasil klasifikasi yang telah dilakukan dan banyak
diterima orang secara umum adalah bahwa bahasa-bahasa yang ada di dunia
ini terbagi dalam sebelas rumpun besar.
a. Rumpun Indo eropa.
b. Rumpun Hamito-Semit atau Afro-Asiatik.
c. Rumpun Chari-Nil.
d. Rumpun Dravida.
e. Rumpun Austronesia.
f. Rumpun Kaukasus.
g. Rumpun Finno-ugris.
h. Rumpun Paleo Asiatis atau Hiperbolis.
i. Rumpun Ural-Altai.
j. Rumpun Sino-Tibet.
k. Rumpun bahasa-bahasa indian.
Klasifikasi
genetis ini menunjukkan bahwa perkembangan bahasa-bahasa di dunia ini
bersifat divergenetif, yakni memecah dan menyebar menjadi banyak; tetapi
pada masa mendatang karena situasi politik dan perkembangan yang
konvergensif tampaknya akan lebih mungkin dapat terjadi.
2. Klasifikasi tipologi
Klasifikasi
tipologis dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau tipe-tipe yang
terdapat pada sejumlah bahasa. Hasil klasifikasi ini menjadi besifat
arbitrer, karena tidak terikat oleh tipe tertentu, melainkan bebas
menggunakan tipe yang mana saja atau menggunakan berbagai macam tipe.
Namun hasilnya itu masih tetap ekshaustik dan unik.
Klasifikasi pada tataran morfologi pada abad XIX secara garis besar dapat dibagi tiga kelompok, yaitu: Kelompok pertama,
adalah yang semata-mata menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar
klasifikasi. Fredrich Von tahun 1808 dan August Von Schlegel tahun 1818.
Kelompok kedua, adalah menggunakan akar kata seabgai dasar klasifikasi. Franz Bopp dan Max Muller. Kelompok ketiga, adalah yang menggunakan bentuk sintaksis sebagai dasar klasifikasi oleh H. Seinthal dan Franz Misteli.
Pada
abad XX ada juga dibuat pakar klasifikasi morfologi dengan prinsip yang
berbeda, misalnya, yang dibuat Sapir (1921) dan J. Greenberg (1954)
Edward Sapir menggunakan tiga parameter: (1) konsep-konsep gramatikal,
(2) proses-proses gramatikal, dan (3) tingkat penggabungan morfem dalam
kata. J. Greenberg mengembangkan gagasan Sapir dengan mengajukan lima
parameter. (1) menyangkut jumlah morfem yang ada dalam sebuah kalimat,
(2) menyangkut jumlah sendi (juncture) yang terdapat dalam sebuah
konstruksi, (3) menyangkut kelas-kelas morfem yang membentuk sebuah kata
(akar, derivasi, infleksi), (4) mempersoalkan jumlah afiks yang ada
dalam sebuah konstruksi, (5) mempersoalkan hubungan kata dengan kata di
dalam kalimat.
3. Klasifikasi areal
Klasifikasi
areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara bahasa
yang satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu area atau wilayah,
tanpa memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara generik atau
tidak. Klasifikasi ini bersifat nonekshaustik dan nonunik. Usaha
klasifikasi berdasarkan areal ini pernah dilakukan oleh Wihelm Schmidt
(1868-1954) dengan bukunya Die Sprachfamilien Und Sprachenkreise Der
Ende, yang dilampiri dengan peta.
4. Klasifikasi sosiolinguistik
Klasifikasi
sosiolinguistik dilakukan berdasarkan hubungan antara bahasa dengan
faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat; tepatnya, berdasarkan
status, fungsi, penilaian yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu.
William A. Stuart tahun 1962 artikelnya “An Outline of Linguistic
Typology For Descrimbing Multi Lingualism”. Klasifikasi ini dilakukan
berdasarkan empat ciri.
Historisitas
berkenan dengansejarah perkembangan bahasa atau sejarah pemakaian
bahasa itu. Kriteria standarisasi berkenan dengan statusnya sebagai
bahasa baku atau tidak baku, atau statusnya dalam pemakaian formal atau
tidak formal. Vitalitas berkenan dengan apakah bahasa itu mempunyai
penutur yang menggunakannya dlam kegiatan sehari-hari secara aktif atau
tidak. Homogenesitas berkenan dengan apakah leksikon dan tata bahasa
dari bahasa itu diturunkan. Hasil klasifikasi bisa ekshaustik tetapi
tidak unik.
E. Bahasa Tulis dan Sistem Akasara
Bagi
linguistik bahsa lisan adalah primer, bahasa tulsi adalah sekunder.
Bahasa tulis bukanlah bahasa lisan yang ditulsian seperti yang terjadi
dengan kalau kita merekam bahasa lisan itu ke dalam pita rekaman. Bahasa
tulsi sudah dibuat orang dengan pertimbangan dan pemikiran, sebab kalau
tidak hati-hato, tanpa pertimbangan dan pemikiran, peluang untuk
terjadinya kesalahan dan kesalahpahaman dalam bahasa tuis sangat besar.
Para
ahli dewasa ini memperkirakan tulisan itu berawal dan tumbuh dari
gambar-gambar yang terdapat di gua-gua di Altamira si Spanyol utara, dan
di beberapa tempat lain. Gambar-gambar itu dengan bentuknya yang
sederhana secara langsung menyatakan maksud atau konsep yang ignin
disampaikan. Gambar-gambar seperti ini disebut piktogram sebagai sistem
tulsian disebut piktograf.
Zaman
modern, sesudah perang dunai II, Karel johnson seorang Jurnalis Belanda
dan andre Eckard, seorang sarjana Jerman, mencoba mengembangkan sistem
tulisan piktografik ini, yang disebut Pikto. Piktograf yang
menggambarkan gagasan, ide, atau konsep ini disebut idegraf.
Perkembangan selanjutnya piktograf atau ideograf ini berubah menjadi
lebih sederhana, sehingga tidak tampak lagi hubungan langsung antrara
gambar dengan hal yang dimaksud. Salah satu contoh adalah tulisan paku
yang dipakai oleh bangsa Sumaria pada lebih kurang 4.000 SM. Aksara paku
kemudian diambil oleh orang persia, yakni pada zaman Darius I (522-468
SM), tetapi tidak untuk menyatakan gambar, gagasan, atau kata, melainkan
untuk menyatakan kata suku kata. Sistem disebut aksara silabis. Aksara
Fenesia terdiri dari 22 buah suku kata. Dalam aksara Fenesia ini setiap
aksara melambangkan satu konsionan yang diikuti oleh satu vokal. Aksara
Arab yang digunakan di Malaysia disebut aksara jawi, bahasa Indonesia (waktu dulu) disebut Arab Melayu atau Arab Indonesia, bahasa Jawa disebut aksara pegon.
Huruf
adalah istilah umum untuk graf dan grafem. Abjad atau alfabet adalah
urutan huruf-huruf dalam suatu sistem aksara. Aksara adalah keseluruhan
sistem tulisan, misalnya aksara. Aksara adalah keseluruhan sistem
tulisan. Graf adalah satuan terkecil dalam aksara yang beluim ditentukan
statusnya; grafem adalah satuan terkecil dalam aksara yang
menggambarkan fonem, suku kata,atau morfem tergantung dari sistem aksara
yang bersangkutan. Alograf adalah varian dari grafem. Kaligrafi secara
harfiah diartikan sebagai seni menulis indah. Grafiti adalah corat-coret
di dinding, tembok, pagar dan sebagainya dengan huruf-huruf dan
kata-kata tertentu. Aksara latin adalah aksara yang tidak bersifat
silabis. Ejaan yang ideal adlah ejaan yang melambangkan tiap fonem hanya
dengan satu huruf atau sebaliknya setiap huruf dipakai untuk
melambangkan satu fonem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar