SEMANTIK
Hocket,
seorang tokoh strukturalis menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem
yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem bahasa ini terdiri dari
lima sub sistem, yaitu sub sistem gramatika, fonologi, morfofonemik,
semantik, dan fonetik. Sub sistem semantik dan fonetik bersifat
periperal.
Bapak linguistik modern, Ferdinand de Saussure dalam teorinya menyatakan bahwa tanda linguistik (Signe Linguistique)
terdiri dari komponen signifian dan signifie, yang berarti studi
linguistik tanpa disertai dengan studi semantik, tidak ada artinya.
Sebab kedua komponen itu merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
7.1. HAKIKAT MAKNA
Menurut
de Saussure setiap tanda linguistik terdiri dari komponen signifian
(yang mengartikan) yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen
signifie (yang diartikan) berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki
oleh signifian). Jadi menurut Ferdinand de Saussure makna adalah
“pengertian” atau “konsep” yang terdapat pada sebuah tanda linguistik.
7.2. JENIS MAKNA
7.2.1. Makna Lekskal, Gramatikal, dan Kontekstual
Makna
leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa
konteks apapun. Makna leksikal dapat pula diartikan makna yang ada dalam
kamus. Makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal,
seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Misalnya
dalam proses afikasi perfiks ber – dengan dasar baju
melahirkan
makna gramatikal “memakai baju”. Makna kontekstual adalah makna sebuah
leksem atau kata yang berada dalam satu konteks. Misalnya pada kata
“lapala” dalam bentuk bentuk kalimat bentuk :
a) Rambut di kepala nenek putih semua
b) Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
Kata “kepala” pada kedua kalimat di atas memiliki makna yang berbeda.
7.2.2. Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah
kata bermakna referensial kalau ada referensnya, atau acuannya dalam
dunia nyata. Misalnya kata kuda, merah, dan gambar. Sebaliknya kata-kata
seperti dan, karena tidak mempunyai referens. Kata-kata yang acuannya
tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud
satu ke maujud lain disebut kata-kata deiktik. Yang termasuk katakata
deiktik adalah kata-kata promira (dia, saya, kamu), kata-kata yang
menyatakan ruang, misalnya di sini, di sana; kata-kata yang menyatakan
waktu, seperti sekarang, besok; kata-kata yang disebut kata penunjuk,
seperti ini dan itu.
7.2.3. Makna Denotatif dan Konotatif
Makna
denotatif adalah makna asli, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh
sebuah leksem. Makna denotatif sama dengan makna leksikal. Misal kata
“babi” bermakna binatang yang biasa diternakkan dan diambil dagingnya.
Makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna
denotatif. Makna konotasi ada tiga. Konotasi netral misal kurus;
konotasi positif misalnya ramping, dan konotasi negatif misalnya
kerempeng.
7.2.4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna
konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari
konteks atau asosiasi apapun. Kata kuda memiliki makna konseptual
“sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”. Jadi, makna
konseptual sama dengan makna leksikal, denotatif dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem berkenaan
dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar
bahasa. Misalnya kata “merah” berasosiasi dengan berani.
Oleh Leech (1976) ke dalam makna asosiasi ini dimasukkan juga yang disebut akna
konotatif, stilistika, afektif, dan makna kolakotif. Makna konotatif
termasuk dalam makna asosiatif karena berasosiasi dengan nilai rasa
terhadap kata itu. Makna stalistika berkenaan dengan pembedaan
penggunaan kata sehubungan dengan perbedaan bidang sosial atau bidang
kegiatan. Misalnya, kita membedakan penggunaan kata rumah, pondok,
kediaman, kondominium, istana, vila, dan wisma yang semuanya memberi
asosiasi yang berbeda terhadap penghuninya.
Makna
afektif berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap lawan bicara.
Misalnya pada kedua kalimat di bawah ini memiliki makna afektif yang
berbeda.
a. “Tutup mulut kalian !” bentaknya kepada kami
b. “Coba, mohon diam sebentar !” katanya kepada kami
Makna
kolakotif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki
sebuah kata dari sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga kata
tersebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu.
Misalnya, kata “tampan” sesungguhnya bersinonim dengan kata cantik,
hanya cocok atau berkolakasi dengan kata yang memiliki ciri “pria”.
7.2.5. Makna Kata dan Makna Istilah
Makna
kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Makna kata menjadi
jelas jika kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya. Makna
istilah mempunyai makna yang pasti, jelas, tidak meragukan meskipun
tanpa konteks kalimat. Misalnya kata “kuping” dalam bidang kedokteran
adalah bagian yang terletak di luar, sedangkan telinga bagian yang
terletak di dalam.
7.2.6. Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom
adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna
unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal. Contoh idiom
adalah membanting tulang, meja hijau. Idiom sebagian adalah idiom yang
salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. contohnya,
buku putih yang bermakna “buku yang memuat keterangan resmi mengenai
suatu kasus” kata “buku” masih memiliki makna leksikalnya. Peribahasa
memiliki makna yang masih bisa ditelusuri dari makna unsur-unsurnya
karena adanya “asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai
peribahasa. Contoh : seperti anjing dengan kucing artinya dua orang yang
tidak bisa akur.
7.3. RELASI MAKNA
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain.
7.3.1. Sinonim
Sinonim
adalah hubungan semantik yang menyatakan kesamaan makna antara ujaran
yang satu dengan ujaran yang lainnya. Contoh : betul bersinonim dengan
benar.
Ketidaksamaan makna ujaran dikarenakan beberapa faktor, antara lain :
Pertama, faktor waktu. Misalnya kata “hulubalang” dengan kata “komandan”. Hulubalang berpengertian klasik, komandan tidak.
Kedua, faktor wilayah. Misalnya kata “beta” untuk wilayah Indonesia bagian timur. “saya” digunakan secara umum.
Ketiga, faktor keformalan. Misalnya uang dan duit. Keempat, faktor sosial. misalnya kata “saya” digunakan oleh
siapa
saja kepada siapa saja. “aku” digunakan terhadap teman sebaya. Kelima,
bidang kegiatan. Misalnya kata “matahari” bias digunakan dalam kegiatan
apa saja atau umum; sedangkan kata “surya” hanya cocok digunakan pada
ragam sastra.
Keenam,
faktor nuansa makna. Misalnya kata “melihat” memiliki makna umum; kata
“melirik” memiliki makna melihat dengan sudut mata.
7.3.2. Antonim
Antonim
adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya
menyatakan kebalikan. Contoh : baik berantonim buruk. Dilihat dari sifat
hubungannya, antonim dibedakan atas beberapa jenis, antara lain :
Pertama, antonim yang bersifat mutlak. Contohnya kata hidup berantonim
secara mutlak dengan kata mati.
Kedua,
antonim yang bersifat relatif atau bergradasi yaitu antonim yang batas
antara satu dengan yang lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas;
batasnya itu dapat bergerak menjadi lebih atau kurang.
Ketiga,
antonim yang bersifat relasional yaitu antonim yang munculnya yang satu
harus disertai dengan yang lain. Misalnya suami dengan isteri, menjual
dengan membeli.
Keempat,
antonim yang bersifat hierarkial yaitu antonim yang kedua satuan jaran
yang berantonim itu berada dalam satu garis jenjang atau hierarki.
Contohnya : kata gram dan kilogram.
Kelima,
antonim majemuk yaitu antonim yang memiliki pasangan lebih dari satu.
Misalnya kata berdiri berantonim dengan kata duduk, tidur, tiarap,
jongkok dan bersila.
7.3.3. Polisemi
Polisemi adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Contoh kata “kepala” pada frase berikut :
a. kepala kantor
b. kepala surat
c. kepala meja
d. kepala manusia
7.3.4. Homonimi
Homonimi adalah dua buah kata satu satuan ujaran yang bentuknya sama maknanya berbeda. Misalnya kata “bisa” yang bermakna “sanggup” dan “bisa” yang bermakna racun ular.
Dalam
homonimi ada yang disebut homofoni dan homografi. Homofini adalah
kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya.
Contohnya “bang” dengan bank.
Homografi
mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografi atau ejaannya, tetapi
ucapan dan maknanya tidak sama. Misalnya kata “teras”. Teras yang
maknanya inti dan teras yang maknanya serambi.
7.3.5. Hiponimi
Hiponimi
adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya
tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Contoh merpati berhiponim
dengan burung. Burung berhiponim merpati. Dalam kata jendela, pintu, dan
rumah; jendela dan pintu hanya bagian atau komponen dari rumah. Namanya
yang tepat adalah partonimi atau meronimi.
7.3.6. Ambiquiti atau Ketaksaan
Ambiquiti
adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran
gramatikal yang berbeda yang terjadi pada bahasa tulis, karena dalam
bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat digambarkan dengan akurat.
Misalnya, bentuk “buku sejarah baru” dapat ditaksirkan menjadi (1) buku
sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu memuat sejarah zaman baru.
7.3.7. Redudansi
Redudansi
adalah penggunaan unsur segmental dalam bentuk suatu ujaran yang
berlebih-lebihan. Misalnya kesamaan makna dalam kalimat “Bola itu
ditendang oleh Dika” dengan “Bola itu ditendang Dika” kata “oleh” inilah
yang dianggap sebagai redundans, berlebih-lebihan.
7.4. PERUBAHAN MAKNA
Secara
sinkronis (masa yang relatif singkat), makna sebuah kata tetap sama;
tetapi secara diakronis (masa yang relatif lama) kemungkinan bisa
berubah. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain :
Pertama, perkembangan iptek. Misalnya kata “sastra” mulanya bermakna “tulisan” lalu berubah menjadi bermakna “bacaan”.
Kedua,
perkembangan sosial budaya. Misalnya pada zaman feudal dulu, untuk
menyebut orang yang dihormati, digunakan kata “tuan”. Kini, kata “tuan”
diganti dengan kata “bapak” yang terasa lebih demokratis.
Ketiga,
perkembangan pemakaian kata. Misalnya kata “menggarap” dari bidang
pertanian digunakan juga dalam bidang lain dengan makna “mengerjakan,
membuat”.
Keempat,
pertukaran tanggapan indra. Misalnya kata “pedas” yang seharusnya
ditanggap oleh alat indra perasa lidah menjadi ditanggap oleh alat
pendengar telinga, seperti pada ujaran “kata-katanya sangat pedas”.
Kelima,
adanya asosiasi yaitu hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan
sesuatu yang lain berkenaan dengan bentuk ujaran dengan sesuatu yang
lain yang berkenaan dengan bentuk ujaran itu, sehingga dengan demikian
bila disebut ujaran itu maka yang dimaksud adalah sesuatu yang lain yang
berkenaan dengan ujaran itu. Misalnya kata “amplop” yang berarti sampul
surat dan yang berarti “uang sogok”. Perubahan makna meluas, artinya
kalau tadinya kata bermakna “A”, lalu menjadi bermakna “B”. misalnya
kata “Baju” mulanya
bermakna
pakaian, tetapi juga celana, sepatu, topi, dasi dan sebagainya.
Perubahan makna menyempit, artinya kalau tadinya kata bermakna umum
menjadi bermakna khusus. Misalnya kata “sarjana” tadinya bermakna “orang
cerdik” tetapi kini hanya bermakna “lulusan perguruan tinggi” saja,
seperti sarjana pendidikan.
Perubahan
makna secara total, artinya makna yang dimiliki sekarang jauh berbeda
dengan makna aslinya. Misalnya kata “seni” pada mulanya hanya berkenaan
dengan air seni, sekarang bermakna karya cipta. Ada juga perubahan makna
yang “menghaluskan” misalnya kata “pemecatan” diganti PHK. Perubahan
makan yang bersifat “mengkasarkan” misalnya kata “kalah” digantu dengan
“masuk kotak”. Perubahan makna yang “menghaluskan” disebut
eufemia/eufemisme. perubahan makna yang “mengkasarkan” disebut disfemia.
7.5. MEDAN MAKNA DAN KOMPONEN MAKNA
7.5.1. Medan Makna
Medan makna (semantic domain, semantif field)
atau median leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya
saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan
atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya medan warna dalam
bahasa Indonesia mengenal nama-nama merah, coklat, biru, hijau, kuning,
putih, hitam. Untuk mengatakan nuansa warna yang berbeda, bahasa
Indonesia memberi keterangan perbandingan, seperti merah darah, merah
jambu, dan merah bata.
Kata-kata
yang mengelompok dalam satu medan makna, berdasarkan siswat hubungan
semantisnya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set.
Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmantik yang terdapat antara
kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Misalnya dalam kalimat “tiang
layer perahu nelayan itu patah dihantam badai !”. Kata layar, perahu,
nelayan,
dan badai yang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat
atau lingkungan yang sama. Kelompok set menunjuk pada hubungan
paradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu
bisa saling disubtitusikan. Umpanyanya, kata remaja merupakan tahap erkembangan dari kanak-kanak menjadi dewasa.
7.5.2. Komponen Makna
Makna yang dimiliki oleh setiap kata terdiri dari sejumlah komponen makna yang membentuk keseluruhan makna kata itu.
7.5.3. Kesesuaian Semantik dan Sintaktik
Menurut
Chafe (1970) inti sebuah kalimat adalah pada predikat atau verba.
menurut Chafe, verbalah yang menentukan kehadiran konstituan lain dalam
sebuah kalimat. kalau verbanya berupa kata kerja membaca, maka dalam
kalimat itu akan hadir sebuah subjek berupa nomina pelaku dan
berkomponen makna manusia. Selain itu juga harus hadir
objek nomina yang memiliki komponen makna bacaan, sebab verba membaca
juga memiliki komponen makna, bacaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar