SEBAGAI presenter
tayangan Jejak Petualang, Adita Nanda dituntut bisa menghadapi
tantangan alam. Mojang Priangan kelahiran Bandung, Jawa Barat, 17 Maret
1982 ini harus rela tubuh putihnya bergelut dengan peluh. Namun, dari
sekian banyak perjalanan yang dilaluinya, ia lebih menyukai berpetualang
di bawah laut. Hobi menyelamnya pun tersalurkan oleh tuntutan kerja.
Berpetualang di alam terbuka bagi Adita
merupakan pengalaman yang sangat luar biasa. Tetapi laut baginya lebih
memiliki tantangan dan daya tarik tersendiri. “Aku lebih memilih laut
ketimbang shooting di wilayah pegunungan. Laut bagi aku mempunyai
keindahan yang tak terlukiskan.Apalagi jika sudah melihat ke dalam,”
kata wanita yang akrab disapa Adit ini kepada Indonesia Maritime Magazine.
Sejak kuliah di Institut
Teknologi Bandung (ITB), ia sudah tertarik dengan olahraga menyelam.
Terlebih, Adit mengambil jurusan Biologi. Ia harus banyak memahami
tentang alam, tumbuhan, binatang dan bioata laut. Tetapi karena keterbatasan dana
keinginannya belum tersalurkan. “Karena mahal jadi pada saat kuliah aku
belum bisa merasakan diving.Setelah bekerja aku baru merasakan, karena
dituntut harus bisa. Cita-cita dari kuliah pun akhirnya tersalurkan,”
ujarnya. Adit mulai menceburkan diri dalam dunia diving pada 2006.
Awalnya ia hanya keliling Indonesia dengan snorkling.
“Pertama kali aku belajar di Pulau Sepa, Kepulauan Seribu. Setelah
mendapat sertifikasi, laut Bali menjadi tempat persinggahan awal diving aku,” kata Adit dengan khas logat Sundanya. Pengalaman pertamanya, yaitu bertemu dengan Mola-Mola dan Matarai.
Padahal, arus di bawah laut saat itu sangat kencang. Untuk yang masih newbie
tentunya masih sangat mengerikan. “Untuk menghindari yang tidak
diinginkan, instrukturku selalu memberikan arahan. Pertama mental, dia
selalu mengatakan ini hari terakhir. Kita diajari menyelam itu tidak
bisa sembarangan karena bahaya setiap saat menanti kita,” ujar Adit.
Saat ditanya berapa tempat menyelam
yang sudah dikunjunginya, Adit mengaku tidak terhitung. Mengenai tempat
favorit ia lebih menyukai coral carpet, hamparan coral
dengan warni-warni keindahannya. “Tempat yang paling aku suka di Raja
Ampat, aku sudah dua kali ke sana. Tempat itu tidak membosankan,” tutur
anak ketiga dari tiga bersaudara ini.
Pengalaman yang paling berkesan bagi Adit, yaitu saat diving
di Pulau Cendrawasih. Saat menyelami keindahan bawah laut ia ditemani
tujuh ekor penyu. “Itu pengalaman seumur hidup yang tidak terlupakan.
Aku juga pernah diikuti lumba-lumba. Keren banget,” ucapnya sambil
tersenyum. Tetapi ada pengalaman yang mungkin tidak semua orang pernah
merasakannya.
Pada waktu diving di Afrika Selatan. “Kita dimasukan ke dalam sebuah kerangkeng, lalu dicemplungin ke dalam laut. Shark
dipancing sama makanan dan mereka hilir mudik. Kita bener-bener pasrah,
ngeri, tapi luar biasa fantastis,” ujar Adit seraya menolak disebut
sebagai master diving.
Laut Indonesia Salah Kelola
Dari pengalamannya berkunjung ke
sejumlah tempat wisata, Adit melihat permasalahan yang terjadi di
kawasan pantai bukanlah pencemaran. Tetapi pembangunan infrastrukur yang
salah kaprah dan pengelolaan potensi wisata yang tidak profesional.
Menurut Adit, lingkungan di kawasan
tempat menyelam relatif terjaga karena hanya dijamah oleh penduduk
setempat dan wisatawan yang cinta dengan indahnya laut. Namun yang
membuatnya prihatin adalah infrastruktur. Seperti yang terjadi di Pantai
Tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
“Di sana ada beton. Seharusnya jangan
dibangun di kawasan pantai wisata. Ini menyebabkan keaslian alam
terganggu karena pembangunan infrastruktur tidak tepat,” ungkapnya.
Menanggapi potensi wilayah Indonesia
yang besar, Adit berpendapat negara ini seharusnya sudah bias menjadi
bangsa yang sejahtera dan mandiri. “Ibaratnya kita sudah dikasih menu
makanan jadi. Tidak perlu masak lagi atau ngolah. Tinggal kasih kecap
sudah bisa dimakan. Tetapi ini kok seperti susah bisa ngembanginnya,”
kata Adit.
Adit menyarankan yang mengelola potensi laut Indonesia sebaiknya swasta. Pemerintah cukup menjadi regulator, yaitu membangun fasilitas umum dan tidak mempersulit swasta dalam mengembangkan usaha.
“Selama ini potensi wisata kita maju
jika dikelola swasta. Karena konsep mereka jelas, menjaring wisatawan
dengan mengembangkan potensi alam dengan baik. Tetapi kalau yang
mengelola pemerintah. Lihat saja banyak lokasi wisata yang tidak
terurus,” bebernya.(*)
Sumber : http://indomaritimeinstitute.org/?p=1471
Tidak ada komentar:
Posting Komentar