Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd., pakar pendidikan.
Jakarta (Dikdas): Dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Ia mengandung nilai-nilai luhur hasil eksplorasi para pendiri bangsa negeri ini (founding father).
Di dalamnya juga terkandung karakter dan kepribadian ideal manusia
Indonesia yang dapat membawa negeri ini kepada kesejahteraan bersama.
Lalu bagaimana aplikasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam ranah dunia pendidikan? Apakah Pancasila masih relevan dengan kondisi masyarakat yang terus berubah? Kemudian, bagaimana penerapannya di lingkungan sekolah?
Berikut ini petikan wawancara dengan Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd., pakar pendidikan. Wawancara dilakukan di ruang kerjanya di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat siang (27/5), di tengah kesibukannya yang begitu padat.
Apa definisi pendidikan karakter?
Yang disebut karakter itu adalah sifat, watak, tabiat, perilaku yang mengakar pada diri seseorang, satu kelompok masyarakat, atau bangsa terhadap suatu prinsip-prinsip tertentu. Pendidikan karakter adalah suatu pendidikan yang membentuk karakter seseorang, karakter bangsa, atau karakter masyarakat berdasarkan suatu prinsip yang disebut filosofi dari bangsa itu. Dalam hal ini bangsa Indonesia mempunyai pegangan yaitu falsafah Pancasila.
Karakter bangsa Indonesia, satu, taat kepada Tuhan. Semua pekerjaan harus diarahkan kepada Tuhan. Pekerjaan harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan sehingga orangnya jujur dan mempunyai integritas kepada agamanya masing-masing serta bisa hidup toleran kepada yang berbeda agama. Orangnya juga bisa ikhlas, berjuang untuk kebaikan, dan banyak beramal.
Dua, mempunyai karakter kemanusiaan; santun, bisa menjaga hubungan yang baik dengan manusia lain, memiliki harmonisasi, menjaga terpecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hidup bersama dalam suatu masyarakat yang baik. Beberapa hal itu di dalam Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; harus bersikap adil dan bisa melihat tata krama yang baik. Memang kita menjadi orang yang profesional tetapi tata krama ketimuran harus dijaga dengan baik.
Ketiga, sangat penting, yaitu mempunyai keksatriaan atau patriotisme atau suatu pembelaan terhadap bangsa ini. Bagaimana cara membela bangsa? Tentu menjadi orang yang rajin belajar dan memerhatikan persiapan-persiapan masa depan bangsa. Bagaimana caranya bangsa ini dibela supaya maju dan setaraf dengan bangsa lain. Ini yang harus dididik kepada anak-anak kita.
Dia harus menjadi anak yang rajin dan sayang kepada bangsa ini. Jangan sampai bangsa ini tidak terurus. Karena itu kita tidak boleh bodoh. Kita harus mempunyai keunggulan intelektual. Di dalam keunggulan intelektual tentunya mempunyai keinginan untuk berilmu tinggi dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Tapi kita juga harus memiliki kerendah-hatian, tidak boleh sombong tapi tegas, bisa membedakan mana yang baik-mana yang buruk, mana yang indah-mana yang jelek. Itu semuanya dalam nasionalisme.
Lalu demokrasi. Demokrasi menunjukkan bahwa suara dari rakyat harus kita dengarkan dengan baik. Kita tidak boleh melihat adanya pembedaan orang dengan kelas-kelas. Kita harus melihat orang dalam keadaan egaliter, sama, tetapi menjaga kehormatan. Atasan kita hormati, tapi kalau dia berbuat salah, kita harus berani mengatakan kesalahannya dengan dengan sopan dan santun.
Terakhir, bangsa Indonesia harus punya karakter peduli pada orang miskin dan mempunyai kebutuhan di dalam kehidupannya. Kita tidak boleh merasa masa bodoh kalau melihat orang yang melarat, tidak sekolah, masih di lapisan bawah. Kita harus angkat ke permukaan. Tetapi segala sesuatunya harus melalui upaya-upaya yang masuk akal dan realistis.
Karakter-karakter ini dikembangkan dengan cara, satu, membiasakan di rumah. Dengan aturan-aturan yang baik. Kedua, menumbuhkan karakter dengan keteladanan. Pembiasaan baik untuk anak, tetapi kalau sudah umur 13, 14, 15 harus ada keteladanan. Keteladanan dari orangtua, guru, dan tokoh sekelilingnya. Ini yang sangat penting.
Keteladanan itu sangat diperlukan. Kalau tidak ada teladan, kita seolah-olah hanya bicara tetapi tidak ada realitanya. Kalau sudah ada keteladanan dan anak-anak terbiasa, tentu dia akan punya pemahaman, “Oh iya ya, orang itu harus jujur, bertanggung jawab, mau berkorban untuk bangsa dan orang lain, menjaga persatuan, membela bangsa.” Kalau sudah punya kebiasaan, lalu ada keteladanan dan pengetahuan, lalu muncul karakter yang diamalkan olehnya. Sehingga di dalam keadaan-keadaan yang sangat tertekan dan represif, mereka akan tetap tegar dan tidak akan berpaling kepada kemudahan-kemudahan dan hal-hal yang melanggar peraturan.
Umpamanya, kalau seorang anak menganggap kejujuran penting, dalam keadaan tertekan dan kepepet, sedang ulangan, dia akan tetap berada di dalam kejujurannya. Dia tidak akan mencontek dan bertanya serta mencari peluang tak baik. Kalau sudah menjadi pegawai, dia juga akan begitu. Kejujuran akan dia pegang. Dia tidak akan melakukan korupsi dan kebohongan.
Dalam pembelajaran di sekolah, bagaimana meramu karakter-karakter tersebut? Apakah lewat materi pelajaran atau kegiatan ekstrakurikuler?
Tidak, ini pembiasaan dan keteladanan. Semua guru, apakah itu guru olahraga, kesenian, biologi, matematika, mereka harus menunjukkan, umpamanya, datang tepat waktu, bertanggung jawab, berkomunikasi dengan baik. Jadi bukan pada materinya. Kita tidak mengatakan bahwa hendaklah kamu sopan-santun, tetapi orang itu, kan, mempunyai cara bagaimana sopan dengan orang. Itu yang sangat penting.
Ada sebagian kalangan mengatakan bahwa pendidikan karakter harus dimasukkan dalam materi pelajaran. Menurut Anda?
Boleh saja, tapi saya pikir lebih banyak ke afektif, jangan ke kognitif.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa pendidikan karakter sebenarnya sudah berjalan lama di sekolah dan sekarang ditegaskan lagi. Ketika itu sudah dijalankan, kok anak-anak sekarang banyak melakukan hal yang tidak baik. Apakah bisa dikatakan pendidikan karakter itu sudah gagal?
Saya pikir bukan gagal, tetapi proses pembinaan karakter ini tekanannya terlalu banyak di kognitif. Harus lebih banyak di afektif. Jadi kita harus memproses pembelajaran jangan ‘isinya’, tapi ‘bagaimananya’. Bagaimana ‘mengunyah’ isi. Jadi saya pikir sekarang saatnya semua orang melihat bahwa akar orang Indonesia sebetulnya mempunyai karakter yang baik. Dalam kehidupan nyata, kalau dia terpepet, dia harus bisa berpegang teguh kepada kekuatan-kekuatan yang dia ingin tegakkan. Kalau dengan kejujuran dia mungkin tidak akan mendapatkan uang banyak, kalau mendapatkan uang banyak dengan cara diinjak oleh orang, dia tidak mau. Dia harus bisa bertahan seperti itu. Ini persis waktu kita tahun 1945 membela bangsa ini.
Banyak orang mengeluhkan kondisi lingkungan sangat memengaruhi anak-anak untuk berbuat jahat. Sejauh mana efektivitas pendidikan karakter yang diberikan di sekolah terhadap ketahanan siswa?
Kalau di rumah dan di sekolah kuat, sehingga dia punya kekuatan 70%, bahwa ada pengaruh-pengaruh yang kurang baik dari luar, itu biasa. Tapi kalau itu sudah berakar pada dirinya, sudah mendarah daging. Biasanya kalau dia melakukan kekeliruan satu-dua kali, dia akan kembali lagi. Saya tetap optimis bahwa pendidikan karakter di dalam pembangunan karakter bangsa ini harus kita sukseskan. Kita bangun saja karakter berdasarkan Pancasila, dan itu sudah berdasarkan agama, adat, dan segala sesuatunya.* (Billy Antoro)
Lalu bagaimana aplikasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam ranah dunia pendidikan? Apakah Pancasila masih relevan dengan kondisi masyarakat yang terus berubah? Kemudian, bagaimana penerapannya di lingkungan sekolah?
Berikut ini petikan wawancara dengan Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd., pakar pendidikan. Wawancara dilakukan di ruang kerjanya di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat siang (27/5), di tengah kesibukannya yang begitu padat.
Apa definisi pendidikan karakter?
Yang disebut karakter itu adalah sifat, watak, tabiat, perilaku yang mengakar pada diri seseorang, satu kelompok masyarakat, atau bangsa terhadap suatu prinsip-prinsip tertentu. Pendidikan karakter adalah suatu pendidikan yang membentuk karakter seseorang, karakter bangsa, atau karakter masyarakat berdasarkan suatu prinsip yang disebut filosofi dari bangsa itu. Dalam hal ini bangsa Indonesia mempunyai pegangan yaitu falsafah Pancasila.
Karakter bangsa Indonesia, satu, taat kepada Tuhan. Semua pekerjaan harus diarahkan kepada Tuhan. Pekerjaan harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan sehingga orangnya jujur dan mempunyai integritas kepada agamanya masing-masing serta bisa hidup toleran kepada yang berbeda agama. Orangnya juga bisa ikhlas, berjuang untuk kebaikan, dan banyak beramal.
Dua, mempunyai karakter kemanusiaan; santun, bisa menjaga hubungan yang baik dengan manusia lain, memiliki harmonisasi, menjaga terpecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hidup bersama dalam suatu masyarakat yang baik. Beberapa hal itu di dalam Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; harus bersikap adil dan bisa melihat tata krama yang baik. Memang kita menjadi orang yang profesional tetapi tata krama ketimuran harus dijaga dengan baik.
Ketiga, sangat penting, yaitu mempunyai keksatriaan atau patriotisme atau suatu pembelaan terhadap bangsa ini. Bagaimana cara membela bangsa? Tentu menjadi orang yang rajin belajar dan memerhatikan persiapan-persiapan masa depan bangsa. Bagaimana caranya bangsa ini dibela supaya maju dan setaraf dengan bangsa lain. Ini yang harus dididik kepada anak-anak kita.
Dia harus menjadi anak yang rajin dan sayang kepada bangsa ini. Jangan sampai bangsa ini tidak terurus. Karena itu kita tidak boleh bodoh. Kita harus mempunyai keunggulan intelektual. Di dalam keunggulan intelektual tentunya mempunyai keinginan untuk berilmu tinggi dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Tapi kita juga harus memiliki kerendah-hatian, tidak boleh sombong tapi tegas, bisa membedakan mana yang baik-mana yang buruk, mana yang indah-mana yang jelek. Itu semuanya dalam nasionalisme.
Lalu demokrasi. Demokrasi menunjukkan bahwa suara dari rakyat harus kita dengarkan dengan baik. Kita tidak boleh melihat adanya pembedaan orang dengan kelas-kelas. Kita harus melihat orang dalam keadaan egaliter, sama, tetapi menjaga kehormatan. Atasan kita hormati, tapi kalau dia berbuat salah, kita harus berani mengatakan kesalahannya dengan dengan sopan dan santun.
Terakhir, bangsa Indonesia harus punya karakter peduli pada orang miskin dan mempunyai kebutuhan di dalam kehidupannya. Kita tidak boleh merasa masa bodoh kalau melihat orang yang melarat, tidak sekolah, masih di lapisan bawah. Kita harus angkat ke permukaan. Tetapi segala sesuatunya harus melalui upaya-upaya yang masuk akal dan realistis.
Karakter-karakter ini dikembangkan dengan cara, satu, membiasakan di rumah. Dengan aturan-aturan yang baik. Kedua, menumbuhkan karakter dengan keteladanan. Pembiasaan baik untuk anak, tetapi kalau sudah umur 13, 14, 15 harus ada keteladanan. Keteladanan dari orangtua, guru, dan tokoh sekelilingnya. Ini yang sangat penting.
Keteladanan itu sangat diperlukan. Kalau tidak ada teladan, kita seolah-olah hanya bicara tetapi tidak ada realitanya. Kalau sudah ada keteladanan dan anak-anak terbiasa, tentu dia akan punya pemahaman, “Oh iya ya, orang itu harus jujur, bertanggung jawab, mau berkorban untuk bangsa dan orang lain, menjaga persatuan, membela bangsa.” Kalau sudah punya kebiasaan, lalu ada keteladanan dan pengetahuan, lalu muncul karakter yang diamalkan olehnya. Sehingga di dalam keadaan-keadaan yang sangat tertekan dan represif, mereka akan tetap tegar dan tidak akan berpaling kepada kemudahan-kemudahan dan hal-hal yang melanggar peraturan.
Umpamanya, kalau seorang anak menganggap kejujuran penting, dalam keadaan tertekan dan kepepet, sedang ulangan, dia akan tetap berada di dalam kejujurannya. Dia tidak akan mencontek dan bertanya serta mencari peluang tak baik. Kalau sudah menjadi pegawai, dia juga akan begitu. Kejujuran akan dia pegang. Dia tidak akan melakukan korupsi dan kebohongan.
Dalam pembelajaran di sekolah, bagaimana meramu karakter-karakter tersebut? Apakah lewat materi pelajaran atau kegiatan ekstrakurikuler?
Tidak, ini pembiasaan dan keteladanan. Semua guru, apakah itu guru olahraga, kesenian, biologi, matematika, mereka harus menunjukkan, umpamanya, datang tepat waktu, bertanggung jawab, berkomunikasi dengan baik. Jadi bukan pada materinya. Kita tidak mengatakan bahwa hendaklah kamu sopan-santun, tetapi orang itu, kan, mempunyai cara bagaimana sopan dengan orang. Itu yang sangat penting.
Ada sebagian kalangan mengatakan bahwa pendidikan karakter harus dimasukkan dalam materi pelajaran. Menurut Anda?
Boleh saja, tapi saya pikir lebih banyak ke afektif, jangan ke kognitif.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa pendidikan karakter sebenarnya sudah berjalan lama di sekolah dan sekarang ditegaskan lagi. Ketika itu sudah dijalankan, kok anak-anak sekarang banyak melakukan hal yang tidak baik. Apakah bisa dikatakan pendidikan karakter itu sudah gagal?
Saya pikir bukan gagal, tetapi proses pembinaan karakter ini tekanannya terlalu banyak di kognitif. Harus lebih banyak di afektif. Jadi kita harus memproses pembelajaran jangan ‘isinya’, tapi ‘bagaimananya’. Bagaimana ‘mengunyah’ isi. Jadi saya pikir sekarang saatnya semua orang melihat bahwa akar orang Indonesia sebetulnya mempunyai karakter yang baik. Dalam kehidupan nyata, kalau dia terpepet, dia harus bisa berpegang teguh kepada kekuatan-kekuatan yang dia ingin tegakkan. Kalau dengan kejujuran dia mungkin tidak akan mendapatkan uang banyak, kalau mendapatkan uang banyak dengan cara diinjak oleh orang, dia tidak mau. Dia harus bisa bertahan seperti itu. Ini persis waktu kita tahun 1945 membela bangsa ini.
Banyak orang mengeluhkan kondisi lingkungan sangat memengaruhi anak-anak untuk berbuat jahat. Sejauh mana efektivitas pendidikan karakter yang diberikan di sekolah terhadap ketahanan siswa?
Kalau di rumah dan di sekolah kuat, sehingga dia punya kekuatan 70%, bahwa ada pengaruh-pengaruh yang kurang baik dari luar, itu biasa. Tapi kalau itu sudah berakar pada dirinya, sudah mendarah daging. Biasanya kalau dia melakukan kekeliruan satu-dua kali, dia akan kembali lagi. Saya tetap optimis bahwa pendidikan karakter di dalam pembangunan karakter bangsa ini harus kita sukseskan. Kita bangun saja karakter berdasarkan Pancasila, dan itu sudah berdasarkan agama, adat, dan segala sesuatunya.* (Billy Antoro)
Sumber : http://dikdas.kemdiknas.go.id/content/berita/utama/pancasila-ka-2.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar